Nourdeen masih mempelajari tanpa
bimbingan seorang Muslim pun. Hingga suatu ketika, saat tiba bulan Ramadhan, ia
memutuskan untuk mencoba berpuasa. Ia mendatangi teman-temannya yang beragama
Islam dan memberitahu mereka keinginannya. “Aku membeli Alquran dan mengunduh
jadwal Ramadhan (kalender waktu shalat dan imsak) dari internet,” tuturnya. Nourdeen
mempelajari banyak hal sepanjang Ramadhan tahun itu. Dan memasuki hari-hari
terakhir bulan tersebut, ia mendatangi sebuah masjid untuk membayar zakat.
“Memberikan uang untuk tujuan
yang baik adalah hal benar untuk dilakukan. Jadi, menjadi non-Muslim bukanlah
alasan untuk tidak memberi,” prinsip Nourdeen.Sampai di masjid, ia bertemu
dengan seorang bendahara masjid yang menyambutnya dengan sebuah pertanyaan,
“Apakah kamu seorang Muslim?” Nourdeen menggeleng, lalu melanjutkan, “Tapi aku
berpuasa sebulan penuh kemarin.” Sang bendahara masjid itu berpesan kepadanya
untuk tidak terburu-buru dan mengambil sebanyak mungkin waktu yang ia butuhkan
untuk mempelajari Islam.
Nourdeen terus membaca untuk
mempelajari Islam, hingga Ramadhan selanjutnya tiba. Dan seperti biasa, di
pengujung Ramadhan, ia kembali mendatangi masjid untuk membayar zakat. Pria
yang pernah ditemuinya kembali menyambutnya dan menanyakannya pertanyaan yang
sama, “Apakah kamu kini seorang Muslim?” Nourdeen, seperti tahun sebelumnya,
menggeleng. “Bukankah Anda menyuruhku untuk tidak terburu-buru,” ujarnya pada
pria Muslim itu.
Sambil menggeleng perlahan, pria
itu berkata, “Ya, tapi jangan terlalu menganggapnya enteng.”
Nourdeen mencoba menjadikan tahun itu tahun terakhirnya sebagai
non-Muslim. Ia berhenti merokok dan meminum alkohol. “Aku mendorong diriku dan
orang-orang sekitarku untuk berbuat baik, serta mencegah diriku dan diri mereka
untuk menjauhi perbuatan yang salah,” ujarnya. Suatu ketika, saat pergi ke
Turki untuk berlibur, Nourdeen berkesempatan masuk dan melihat-lihat beberapa
masjid besar. Saat itulah ia tersadar, bahwa dalam setiap langkah dan waktu
yang telah dilaluinya, perasaan akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya tumbuh
semakin besar. “Aku mulai bisa melihat bahwa apa yang ada di hadapanku adalah
tanda-tanda Sang Khalik,” katanya.
Nourdeen mulai mencoba shalat
sesekali. Ia tetap membaca banyak hal tentang Islam dan mulai menambah
referensi keislamannya dari internet. Dari sebuah jejaring sosial, Nourdeen
mengenal seorang Muslimah yang juga berasal dari Belanda. Begitu ia tahu
Nourdeen belum memeluk Islam, perempuan tersebut menyarankannya untuk
berkunjung dan bertemu suaminya, seorang Muslim kelahiran Mesir.
Nourdeen memenuhi saran itu. Ia
dan pria tersebut membicarakan banyak hal pada kunjungan pertama. Saat kembali
berkunjung di sebuah kesempatan lain, pria itu mengajari Nourdeen cara shalat
yang benar. “Aku berupaya sebaik mungkin dan ia memerhatikan gerakanku.” Nourdeen
bersyahadat dua pekan kemudian, 9 Desember 2007, di sebuah masjid yang tak jauh
dari tempat tinggal pasangan Muslim yang dikenalnya lewat jejaring sosial itu.
“Imam (yang mengislamkanku)
membaca kalimat syahadat perlahan-lahan, dan kuikuti perlahan-lahan. Saat ia
membaca doa untukku, aku seperti seorang yang berhasil meneraturkan nafasnya
setelah terengah-engah,” kenangnya. “Jalanku menuju Islam adalah melalui
buku-buku, dan aku datang (pada Islam) melalui teori,” kata Nourdeen,
menegaskan bahwa dirinya telah mengambil pilihan rasional, bukan emosional.
Islam baginya adalah jawaban atas setiap pertanyaan. Satu kesempatan setelah
itu, Nourdeen mendatangi masjid yang pernah didatanginya untuk membayar zakat.
Pria yang sama kembali menyapanya, dan tetap bertanya apakah ia telah menjadi
Muslim. Nourdeen mengangguk kali ini. “Ya, Tuan. Dan namaku sekarang adalah
Nourdeen.”
Setelah resmi berislam, Nourdeen
mendalami Alquran di Dar Al-Ilmi di Belanda. Ia segera dikenal sebagai aktivis
Islam dan penggiat dakwah. Tahun lalu, ia meluncurkan program dakwah
berkelanjutan berbasis pelayanan masjid di negaranya.
0 comments:
Posting Komentar